A. PENDAHULUAN

                 Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. Keadaan tersebut dikarenakan meningkatnya kendaraan di Indonesia yang sebagian besar berbahan bakar bensin dan solar dari energi fosil. Jika pada tahun 2000 jumlah kendaraan sekitar 5 juta unit, untuk tahun 2009 sudah meningkat lebih dari 3 kalinya yaitu sekitar 18 juta unit dan dari perkembangan kendaraan tersebut lebih dari 60% adalah kendaraan penumpang yang mencapai sekitar 10 juta unit. Dengan kenaikan jumlah kendaraan tersebut menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat. Jika pada tahun 2000 keperluan BBM untuk transportasi sekitar 20.000 kilo liter, di tahun 2009 sudah mencapai 37.000 kilo liter. Semakin besarnya konsumsi BBM maka diperlukan produksi minyak yang lebih besar, tetapi pada kenyataannya produksi minyak di dalam negeri sejak tahun 2000 mengalami penurunan sehingga sejak tahun 2005 Indonesia menjadi importir minyak.

Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada tahun 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada tahun 2003 dan 154,4 juta barrel pada tahun 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada tahun 2002 impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7 % dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada tahun 2003 dan 77,6 juta barrel pada tahun 2004.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan impor bahan bakar minyak pada tahun 2012 akan mencapai 537.000 barel per hari. Sedangkan total kebutuhan BBM pada tahun 2012 diprediksikan mencapai 1,242 juta barel per hari. Dengan demikian, Indonesia akan mengalami defisit (kekurangan) BBM sekitar 537.000 barel per hari atau 43% dari total kebutuhan 1,242 juta barel per hari (Republika Online, 21/09/11).

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono mengatakan, hingga 31 September 2011 realisasi konsumsi BBM subsidi sudah menembus angka 34,42 juta kilo liter. Artinya, sudah 102,9 % dari jatah JanuariOktober (Republika Online, 10/10/11).

Cadangan energi fosil di Indonesia semakin hari semakin berkurang, sedangkan kebutuhannya terus meningkat. Fakta ini membuka peluang penggunaan energi terbarukan seperti biodiesel yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Selain semakin menipisnya jumlah cadangan bahan bakar fosil, alasan penting lain untuk mengurangi penggunaannya adalah masalah kerusakan lingkungan, harga yang terus melambung, dan beban subsidi yang semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus terhadap masalah konsumsi Bahan Bakar Minyak di Indonesia. Cara yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada untuk menemukan energi baru menggantikan bahan bakar yang sekarang semakin sedikit jumlahnya.

Ubi kayu (singkong) merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol untuk menggantikan premium. Ubi kayu atau singkong (Mannihot esculenta) berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke17 dibawa oleh pedagang Spanyol dari Meksiko ke Philipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Fungsi ubi kayu (singkong) sudah mulai bergeser yang sebelumnya sebagai bahan pangan, saat ini berpotensi menjadi bahan baku untuk pengembangan bioetanol. Kebutuhan bioetanol sampai dengan tahun 2010 tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai 1,8 juta kilo liter (Mingguan Agro Indonesia, 25/03/10).

Ubi kayu mengandung air sekitar 60%, pati 25%-35%, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Sumber energi yang dihasilkan ubi kayu lebih tinggi dibandingkan padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum. Ubi kayu dapat diolah menjadi bioetanol sebagai pengganti premium. Ubi kayu merupakan salah satu sumber pati senyawa karbohidrat kompleks (Soerawidjaja,Tatang H, 2007). Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati perlu bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan glukoamilase yang berperan mengurai pati menjadi glukosa seperti gula sederhana. Setelah menjadi gula kemudian difermentasi menjadi etanol.

Saat ini teknologi yang berpeluang untuk mengembangkan pengadaan energi biofuel adalah produksi bioetanol. Bioetanol adalah etanol yang berasal dari sumber hayati, misalnya tebu, nira sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, jagung, jerami, bonggol jagung dan kayu. Bahan baku pembuatan bioetanol dapat terdiri dari bahan-bahan yang mengandung karbohidrat, glukosa dan selulosa. Bahan baku bioetanol yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia terutama adalah ubi kayu. Ubi kayu potensial dikembangkan sebagai bahan baku karena dapat diproduksi dalam jumlah yang besar pada berbagai agroekosistem (Prihandana, Rama dkk. 2008). Pemeliharaannya juga mudah, efektif, dan produktif sehingga tidak terlalu membutuhkan biaya yang banyak.

Dikarenakan keterbatasan waktu, pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi berdasarkan rumusan masalah. Rumusan masalah dalam makalah ini adalah (1) Kandungan apa sajakah yang terdapat dalam ubi kayu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif (bioetanol)?, (2) Bagaimanakah proses pembuatan ubi kayu menjadi bioetanol?, (3) Apakah keunggulan etanol dibandingkan bensin?, (4) Bagaimanakah prospek pengembangan bioetanol dari ubi kayu sebagai bahan alternatif pengganti bensin untuk masa yang akan datang?

B. KANDUNGAN YANG TERDAPAT DALAM UBI KAYU SEHINGGA DAPAT DIMANFAATKAN SEBAGAI

      ENERGI ALTERNATIF (BIOETANOL)

Ubi kayu merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, ubi kayu menghasilkan starch, gaplek, tepung singkong, etanol, gula cair, sorbitol, MSG, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Ubi kayu merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain per harinya.

No.

Jenis Tanaman Nilai Kalori (kal/ha/hari)

1.

Singkong

250 x 103

2.

Jagung

200 x 103

3.

Beras

176 x 103

4.

Sorgum

114 x 103

5.

Gandum

110 x 103

Tabel 1.1 Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat (Sumber: Tjokrokoesoemo, P Soebianto. 1989)

Selain itu, ubi kayu memiliki potensi yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol. Hasil panen ubi kayu sekitar 10-50 ton/ha/tahun dan mempu­nyai kadar etanol 2.000-7.000 liter/ha/tahun (Prihandana, Rama dkk. 2008). Ubi kayu juga mengandung air sekitar 60%, pati 25%-35%, serta protein, mineral, serat, kalsium, fosfat, karbohidrat, glukosa dan selulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan etanol. Hal ini dikarenakan bioetanol tersebut bersum­ber dari karbohidrat yang potensial.

Ubi kayu sebagai bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) memiliki sifat varietas yaitu berkadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan umur panen.

 C. PROSES PEMBUATAN UBI KAYU MENJADI BIOETANOL

                Adapun cara mengolah ubi kayu menjadi etanol yang diterapkan oleh Tatang H Soerawidjaja dengan kapasitas 10 liter per hari adalah sebagai berikut:

1. Kupas 125 kg ubi kayu segar, semua jenis ubi kayu dapat dimanfaatkan. Dibersihkan dan dicacah berukuran kecil-kecil.

2. Kemudian ubi kayu yang telah dicacah dikeringkan sehingga kadar air maksimal 16%. Seperti ubi kayu yang telah dikeringkan menjadi gaplek. Tujuannya agar lebih awet sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku.

3. Masukkan 25 kg gaplek ke dalam tangki stainless steel berkapasitas 120 liter, lalu ditambahkan air hingga mencapai volume 100 liter. Gaplek dipanaskan hingga 100 0C selama 0,5 jam. Aduk rebusan gaplek sampai menjadi bubur dan mengental.

4. Kemudian bubur gaplek dinginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki sakarifikasi. Sakarifikasi adalah proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin, ditambahkan cendawan Aspergillus yang akan memecah pati menjadi glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong, diperlukan 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10% dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100 juta sel/ml. Sebelum digunakan, Aspergilhis ditabur­kan pada bubur gaplek yang telah dimasak tadi agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati.

5. Dua jam kemudian, bubur gaplek berubah menjadi 2 lapisan yaitu air dan endapan gula. Kemudian diaduk kembali pati yang sudah menjadi gula, selanjut­nya dimasukkan ke dalam tangki fermentasi. Namun, sebelum difermen­tasi, perlu dipastikan kadar gula larutan pati maksimal 17-18%. Kadar tersebut adalah kadar gula maksimum yang disukai bakteri Saccharomyces untuk hidup dan bekerja mengurai gula menjadi alkohol. Jika kadar gula lebih tinggi, tambahkan air hingga mencapai kadar yang diinginkan. Bila sebaliknya, tambahkan larutan gula pasir agar mencapai kadar gula maksimum.

6. Selanjutnya, ditutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan Saccharomyces bekerja mengurai glukosa lebih optimal. Fermentasi ber­lang­sung anaerob atau tidak membutuhkan oksigen. Agar fermentasi optimal, suhu yang digunakan antara 28-32 0C dan pH 4,5-5,5.

7. Setelah 2-3 hari, larutan pati berubah menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein, di atasnya air, dan paling atas adalah etanol. Hasil fermentasi itu disebut Bir yang mengandung 6-12% etanol.

8. Kemudian larutan etanol disedot atau dialirkan dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein.

9. Walaupun sudah disaring, etanol masih bercampur air. Untuk memisahkannya, dilakukan destilasi atau penyulingan. Panaskan campuran air dan etanol pada suhu 78°C atau setara titik didih etanol. Pada suhu tersebut etanol lebih dahulu menguap daripada air yang bertitik didih 100°C. Uap etanol dialirkan melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair.

10. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut, diperlukan etanol berkadar 99% atau disebut etanol kering. Oleh sebab itu perlu destilasi absorbent. Etanol 95% tersebut dipanaskan 100°C. Pada suhu tersebut etanol dan air akan menguap. Uap keduanya kemudian dilewatkan ke dalam pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air yang tersisa sampai diperoleh etanol 99% yang siap dicampur dengan bensin. Sepuluh liter etanol 99%, membutuhkan 120-130 liter Bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.

D. KEUNGGULAN ETANOL DIBANDINGKAN BENSIN

Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan dua ancaman serius: (1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya; (2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan hidrokarbon yang tidak terbakar, serta unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi ataupun pembawa energi yang lebih terjamin kelanjutannya dan lebih ramah lingkungan.

Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplemen­ta­si­kan­ di Amerika Serikat dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar etanol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar etanol saat ini mencapai 40% secara nasional. Di Amerika Serikat, bahan bakar relatif murah E85 yang mengandung etanol 85% semakin populer di masyarakat dunia (Ranola, Roberto F. 2009).

Etanol dapat digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran untuk bahan bakar bensin maupun hidrogen. Interaksi etanol dengan hidrogen dapat diman­faatkan sebagai sumber energi sel bahan bakar ataupun dalam mesin pem­ba­­­karan dalam (internal combustion engine) konvensional.

Terdapat beberapa karakteristik internal etanol yang menyebabkan peng­gunaan etanol pada mesin lebih baik daripada bensin. Etanol memiliki angka research octane 108,6 dan motor octane 89,7. Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh bensin walaupun setelah ditambahkan aditif tertentu. Bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 dan umumnya motor octane lebih rendah dari pada research octane. Untuk rasio campuran etanol dan bensin mencapai 60%:40%, tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%.

Etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang berikatan di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara dan bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang kebakaran (inflammability) yang lebar, yakni 4,3-19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang kebakaran 1,4-7,6 vol%), pembakaran campuran udara dan bahan bakar etanol menjadi lebih baik. Hal ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara dan bensin, yaitu sekitar 4%. Etanol juga memiliki panas penguapan yang tinggi, yaitu 842 kJ/kg (Giancoli, 1998). Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan etanol lebih besar dibandingkan bensin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan bensin.

E. PROSPEK PENGEMBANGAN BIOETANOL DARI UBI KAYU SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PENGGANTI BENSIN UNTUK MASA YANG AKAN DATANG

                Ditinjau dari segi teknis, finansial, dan ekonomi atau industri, ubi kayu layak dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol. Dari segi teknis, kelayakan tersebut tercermin dari adanya peluang peningkatan produktivitas ubi kayu dengan laju pertumbuhan 1,3- 37,0% per tahun, tersedianya varietas unggul yang cocok dijadikan sebagai bahan baku industri bioetanol, terdapat lahan tidur dan lahan sawah tadah hujan yang sebagian besar hanya ditanami padi satu kali setahun dengan luas masing-masing 5,84 juta ha dan 1,2 juta ha (Sinar Tani Edisi 27 Juni-3 Juli 2007). Kelayakan finansial ditandai oleh rasio B/C 1,49 dan 1,98 pada tingkat hasil 15 ton dan 20 ton/ha dengan harga ubi segar di tingkat petani Rp 250/kg. Kelayakan ekonomi/industri diindikasikan oleh tersebarnya sentra produksi ubi kayu di 55 Kabupaten dan tingginya minat petani untuk mengadopsi teknologi produksi dan mengembangkan varietas unggul ubi kayu.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan melalui Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian telah meneliti sejumlah klon ubi kayu dari aspek potensi hasil dan kadar pati. Dari 12 klon yang diteliti pada tahun 2006 terdapat tiga klon yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku industri bioetanol. Ketiga klon tersebut adalah CMM 99008-3, CMM 9908-4, dan Kaspro dengan hasil mencapai 21-31 ton/ha (Sinar Tani Edisi 27 Juni-3 Juli 2007).

KESIMPULAN

Konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia yang semakin meningkat me­nye­­babkan menurunnya produksi minyak nasional. Keadaan tersebut dikare­na­kan bertambahnya jumlah kendaraan yang sebagian besar berbahan bakar bensin dan solar dari energi fosil. Cadangan energi fosil di Indonesia semakin hari semakin berkurang, sedangkan kebutuhannya terus meningkat sehingga menyebabkan subsidi yang terus melambung. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus terhadap masalah konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia. Cara yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada untuk menemukan energi alternatif bersumber pada bahan terbarui atau bahan bakar nabati sehingga dapat menggantikan bahan bakar yang sekarang semakin sedikit jumlahnya. Teknologi yang berpeluang untuk mengembangkan pengadaan energi biofuel adalah produksi bioetanol. Bioetanol adalah etanol yang berasal dari sumber hayati seperti ubi kayu.

Ubi kayu merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol untuk menggantikan premium. Data penelitian menunjukkan bioetanol dapat digunakan sebagai bahan campuran premium hingga kandungan 20% dengan kadar oktan 10% lebih tinggi diban­ding­kan dengan premium murni dan tidak mempengaruhi kinerja mesin kendaraan. Dalam proses pembakaran yang tejadi campuran udara dan bahan bakar etanol menjadi lebih baik sehingga menyebabkan relatif rendahnya emisi CO dibanding­kan dengan pembakaran udara dan bensin yaitu sekitar 4%. Disamping itu, juga memiliki panas penguapan yang tinggi yaitu 842 kJ/kg sehingga mesin dapat bekerja secara optimal.

Bioetanol berbahan baku ubi kayu cukup potensial untuk dikembangkan di Inonesia mengingat masih tersedianya lahan untuk budidaya dengan didukung teknologi modern. Dalam operasional­nya, upaya peningkatan produksi ubi kayu dapat ditempuh melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi dalam bentuk kebun energi oleh pihak swasta atau industri bioetanol.

Dalam pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan bakar alternatif (bioetanol) masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut terutama pengaruhnya terhadap komponen mesin yang berdampak pada umur dari komponen mesin tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Evita Legowo. 2011. Indonesia Renewable Energy, (online), (republika.co.id/di­per­­kira­kan-537000-barel/hari-impor bbm.html), diakses 5 Desember 2011.

Giancoli, C Douglas. 1998. Fisika Jilid I Edisi Kelima. Yunilza anum, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan Dari: Phisic Principle and Aplication, Fifth Edition.

Martono, Budi dan Sasongko. 2010. Bioetanol, Alternatif Energi Terbarukan. Kajian Prestasi Mesin dan Implementasi di Lapangan, (Online), (http://­www­.ka­mus­­­ilmi­ah­.com­/­bi­o­­­logi/bioethanol­-alternatif-energi-­­terbarukan­-kajian-prestasi-mesin-dan-im­ple­mentasi-di-lapangan/), diakses 5 Desem­ber­ 2011.

Prihandana, Rama dkk. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Prihandana, Rama. 2008. Energi Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya. Purwati, Ani. 2007. Singkong Berpotensi Jadi Bahan Baku Energi, (Online ), (http://www.beritabumi.or.id/Sinar Tani Edisi 27 Juni-3 Juli 2007.html), diakses 10 Desember 2011.

Ranola, Roberto F. 2009. Enchancing The Viability of Cassava Feedstock for Bio­­e­­thanol In The Philipphines, (Online), (http://www.is­sa­as.org/jour­nal/v15/02/journal­-issaas-v15n2-13-ranolaet_al.pdf), diakses 10 Desember 2011.

Soetanto, Edi. 2010. Singkong Pahit Dan Manis Serta Gapleknya Untuk Peragian Sirop, Anggur Dan Alkohol. (Online), (http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/in­dex.php?view=penelitian/hasilcari&status=uka&id_haslit=13), diakses 5 Desember 2011.

Syaf. 2010. Bioetanol Dari Singkong Sebagai Bahan Alternatif, (Online), (http://­i­c­on­­-agry.blogspot.com/2010/10/bioethanol-dari singkong-sebagai-bahan­.html), diakses 10 Desember 2011.

Tatang H Soerawidjaja. 2006. Ubi Kayu Sebagai Energi Terbarukan, (Online ), (http://iirc.itb.ac.id/jspui/bitstream/123456789­/3834/ 1/­­­F06wms_ab­s­­tract­.pdf), diakses 10 Desember 2011.

Tjokrokoesoemo, P Soebianto. 1989. Prospek Pengembangan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jakarta: Gramedia. Wijuna, Imam. 2009. Mengenal Biofuel dan Biodiesel. (Online), (http://­www­.al­pen­steel.com/component/content/section/7.html layout=blog&tart=1090), diakses 5 Desember 2011.

Satu tanggapan »

  1. Anonim berkata:

    Tolong ∂ȋ̝̊̅ beri dampak ήƔªª

  2. […] “PEMANFAATAN UBI KAYU (Mannihot esculenta) SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PENGGANTI BENSIN (BIOETANOL)”, https://mashariyanto.wordpress.com/2011/12/12/327/ […]

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan